Setiap sekolah pas memiliki ujian untuk menentukan kemampuan setiap murid. Banyak hal membuat murid tertekan saat harus menghadapi ujian, baik itu Ujian Akhir Semester (UAS) maupun Ujian Nasional (UN). Ujian seperti itu merupakan penentu apakah kita layak untuk lulus dan layak naik atau tidaknya murid tersebut.
Persaingan antar siswa juga terjadi di Ujian. Predikat yang di peroleh merupakan suatu hal yang dipersaingkan antar siswa, nilai yang bagus saat ujian sebagai hasil dari ujian itu.
Singapura sendiri baru-baru ini mengumumkan kalau mereka akan menghilang sistem dalam ujian setiap sekolah.
Dilansir dari lama World Economic Forum, negara yang berlambang singa ini akan mulai menghapus ujian untuk siswa pada tahun pertama dan kedua di tahun 2019 nantinya. Sebagai gantinya, pihak sekolah akan meminta siswa untuk berdiskusi, PR yang diberikan akan lebih banyak, dan tak lupa mengerjakan kuis.
Dengan cara seperti ini, mereka berkeyakinan tinggi siswa pasti belajar dilingkungan yang tidak kompetitif. Penilian guru akan lebih mengacu ke penilaian desimal.







Menurut Menteri Pendidikan Singapura Ong Ye Kung, belajar bukanlah kompetisi. Dengan ini, Singapura akan mengarahkan sistem pembelajaran pada model pengembangan minat siswa, tanpa harus membandingkan mana siswa yang berprestasi dan mana yang bukan.
Udah jelas apa yang dilakukan oleh Singapura ini berbeda dengan kebanyakan sistem pembelajaran di negara-negara tetangganya, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, siswa masih fokus berkompetisi demi mengejar rangking agar jadi anak yang berprestasi.
Yang mengejutkan, walaupun tidak menggunakan ujian dan sistem rangking, OECD Programme for Internasional Student Assessment (PISA), justru menunjukkan bahwa siswa di Singapura mendapat nilai teratas dalam tes PISA yang rata-rata siswa di Singapura meraih nilai 1.655 pada tiga subyek yang diujikan seperti i membaca, sains dan matematika.
Menurut Menteri Pendidikan Singapura Ong Ye Kung, belajar bukan merupakan kompetisi, Dengan ini, Singapura mengarahkan setiap sistem pembelajaran pada model pengembangan minat siswa, tanpa harus membandingkan setiap siswa mana yang berprestasi dan mana yang tidak.
Sudah jelas bahwa Singapura membuat sistem yang berbeda dengan kebanyakan sistem pembelajaran pada negara-negara tetanggga mereka, termasuk juga Indonesia. Di Indonesia sendiri, setiap siswa masih fokus dalam berkompetensi demi mengejar peringkat untuk menjadi anak yang berprestasi.
Yang lebih mengejutkan, walaupun tidak menggunakan ujian dan sistem peringkat, OECD Programmer for International Student Assessment (PISA), menunjukkan bahwa siswa di Singapura memiliki nilai teratas dalam tes PISA yang rata-rata siswa di Singapura meraih nilai 1.655 pada tiga subjek yang diujikan seperti halnya membaca, sains dan matematika